Selamat datang di Pesantren Online, nikmati fitur-fitur menarik kami: Daftar Bacaan, Pustaka Hadits Online, Al-Qur an Online, Video Gallery, dll, semoga anda betah disini... :)

Hukum Nadzar




Pada dasarnya hukum nadzar itu makruh, sebab Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam melarangnya di dalam sabdanya,
إِنَّهُ لاَ يَأْتِي بِخَيْرٍ وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيْلِ


"Sesungguhnya ia tidak pernah membawa kebaikan dan sesung-guhnya ia hanya dikeluarkan (bersumber) dari orang yang bakhil."


Maka, kebaikan yang anda perkirakan terjadi dari nadzar itu, bukanlah nadzar itu sebagai penyebabnya. 


Lantas bagaimana cara menyikapi nadzar yang telah diikrarkan?
Bila nadzar tersebut berupa ibadah seperti shalat, puasa, sedekah atau I’tikaf, maka harus ditepati. Tetapi bila ia nadzar maksiat seperti membunuh, berzina, minum khamr atau merampas harta orang lain secara zhalim dan semisalnya maka tidak boleh menepatinya tetapi dia harus membayar kafarat sumpah, yaitu memberi makan sebanyak sepuluh orang miskin dan seterusnya.
Bila nadzar tersebut sesuatu yang mubah (dibolehkan) seperti makan, minum, pakaian, bepergian, ucapan biasa dan semisalnya maka dia diberikan pilihan antara menepatinya atau membayar kafarat sumpah. Bila berupa nadzar melakukan ketaatan kepada Allah, maka dia harus mengalokasikannya kepada kaum miskin dan kaum lemah seperti makanan, meyembelih kambing atau semisalnya. Dan jika ia berupa amal shalih yang bersifat fisik atau materil seperti jihad, haji dan umrah, maka dia harus menepatinya. Bila dia mengkhususkannya untuk suatu pihak maka dia harus menyerahkannya kepada pihak yang telah dikhususkan tersebut seperti masjid, buku-buku atau proyek-proyek kebajikan dan tidak boleh mengalokasikannya kepada selain yang telah ditentukannya tersebut.
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut, “Dan di antara mereka ada orang yang berikrar kepada Allah : ‘Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian dari karuniaNya kepada kami, pasti kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang shalih’. Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebahagian dari karuniaNya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran). Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai pada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepadaNya dan (juga) karena mereka selalu berdusta” [At-Taubah : 75-77]
Maka berdasarkan hal ini, tidak semestinya seorang mukmin melakukan nadzar.
Daliln hadits tentang nadzar ini juga terdapat dalam sebauh hadits yang menceritakan bahwa ada seorang laki-laki yang datang ke hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah bernadzar akan melakukan shalat di Baitul Maqdis bila kelak Allah menganugrahkan kemenangan kepadamu di dalam menaklukan Mekkah”. Maka beliau menjawab : “Shalatlah di sini saja”, kemudian orang tadi mengulangi lagi perkataannya, lalu dijawab oleh beliau, “Kalau begitu, itu menjadi urusanmu sendiri” [Hadits Riwayat Abu Daud di dalam kitab Al-Iman (3305)]
Hadits ini menunjukkan bahwa shalat di Makkah lebih utama daripada shalat di masjid Aqsha, dan sehingga pelaksanaan nadzar sahabat tersebut tidak apa-apa dilaksanakan di MAkkah, ini mengisyaratkan bolehnya seseorang mengganti pelaksanaan nadzarnya dengan cara pelaksanaan yang lebih utama.


Bila seseorang bernadzar sesuatu pada arah tertentu dan melihat bahwa yang selainnya lebih baik dan lebih diperkenankan Allah serta lebih berguna bagi para hambaNya, maka tidak apa-apa dia merubah arah nadzar tersebut ke arah yang lebih baik.
wallahu a'lam wa ahkam.....
Sumber Rujukan :
Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerbit Darul Haq
[Fatawa Al-Mar'ah, dari Fatawa Syaikh Ibn Utsaimin]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar